Kangen Aa gym

24 Agustus 2009

Astaghfirullah…… rabbal baraaya…
Astaghfirullah…… minal khathayaa… (2x)

Barang siapa… Allah tujuannya…
Niscaya dunia… akan melayaninya…
Namun siapa… dunia tujuannya…
Niscaya kan letih… dan pasti sengsara…
Diperbudak dunia… sampai akhir masa…

Entahlah berapa banyak orang yang mengenal syair diatas. Pun saya tak tahu berapa banyak orang yang tersentil dengan syair tersebut. Yang jelas saat menulis tulisan ini di malam yang sepi sambil mendengarkan nasyid tersebut tiba-tiba air mata saya berlinang, seakan-akan tersodorkan sebuah cermin yang memperlihatkan betapa wajah yang selama ini sibuk mengejar kebahagiaan, ternyata hanya memperpayah diri meraup kebahagiaan semu. Syair ini pula yang makin dimaknai makin menembus ke dasar hati terlebih mengorek-ngorek timbunan memori dimana sang penyair telah menorehkan sebuah kenangan manis bagi si penulis ini.

Rasa kehilangan seorang mubaligh kelahiran tahun 1962 ini mulai menyeruak tatkala berita pernikahannya yang kedua dipaparkan media. Semenjak itu ceramah-ceramah segar yang aplikatifnya itu seakan-akan terbenam ditelan kemarahan orang-orang yang berpendirian bahwa rumah tangga adalah singgasana yang boleh dan hanya boleh diduduki untuk seorang suami dan seorang istri, tidak lebih (selain anak). Ah.. tapi saya tidak ingin mengulas moment ini terlalu jauh. Terlalu nekad jika saya ngotot hendak mengulas hal yang masih belum mempunyai titik pijak yang sama ini, ada bermacam-macam orang, bermacam-macam latar belakang pendidikan, bermacam-macam karakter, dan tentunya bermacam-macam cara pandang pula. Jadi lebih netral bagi saya untuk mengulas tokoh ini sebatas pengalaman saya bersua dengan beliau, tidak lebih!

* * *

Jika kita berjalan melewati sebuah wilayah dimana para preman bergerombol, mabuk-mabukan, berjudi. Kira-kira apakah yang akan kita lakukan? Jangankan melewati, mungkin mendengar nama wilayahnya saja sudah membuat bulu kuduk kita merinding. Lain hal dengan ulama yang pernah mengenyam ilmu di Fakultas Teknik Elektro Jendral Ahmad Yani Cimahi ini, beliau malah mengontrak 2 kamar dari 20 kamar yang ada di wilayah “gembong berandal” tersebut. Dua kamar! Dan Aa menggunakannya untuk menimba ilmu agama bersama kawan-kawannya. Lalu siapa pula yang menyangka, Aa akhirnya berhasil mengontrak seluruh kamar, bahkan membeli kepemilikannya seharga 100 juta.

Kini, bangunan sederhana itu tidak terlihat lagi, kecuali telah menjadi bangunan suci, sebuah masjid, sentral menimba ilmu yang bernama Daarut Tauhiid. Betapa senangnya masyarakat sekitar kala mendengar akan dibangun sebuah mesjid disana, terlebih mereka membayangkan “tempat sialan” dan bangunan “sumber onar” yang tengah menemui ajal. Daarut Tauhiid dibangun oleh ribuan tangan dengan dana hasil swadaya (urunan) masyarakat sekitar. Ketulusan dan gotong royong itulah yang mungkin membuat mesjid ini tidak pernah sepi dari para pencari ilmu, baik yang datang dari pelosok Bandung, maupun dari ujung pulau sebelah sana. Tiap malam Jumat maupun malam Ahad, Daarut Tauhiid seakan menjadi sempit dibanjiri para penimba ilmu, bahkan tak sedikit yang bermalam di mesjid. Saya terkadang mesti datang lebih awal, agar bisa menempati “kavling” favorite saya di pojok kanan depan masjid tersebut.

Kembali lagi ke tokoh utama yang ingin dibahas. Aa Gym yang merasa tidak nyaman dipanggil ustadz maupun kiai ini sungguh sederhana dalam kesehariannya. Pernah suatu ketika saya diamanahi menjadi panitia penerimaan tamu negara, dimana bapak Hamzah Haz yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden RI, hendak berkunjung ke Daarut Tauhiid dan ke gubuk sederhananya Aa Gym. Panitia berencana mengganti tikar yang ada di rumah Aa dengan karpet yang sedikit lebih bagus, namun Aa malah berujar, “ Tidak perlu repot-repot menyusahkan diri, dan mempercantik apa-apa. Biarlah beliau tahu rumah Aa apa adanya. Lagi pula yang datang kan abdi masyarakat, lebih mulia bagi kita mempercantik diri ketika hendak berjumpa dengan Allah “ Nyess.. kata-kata Aa itu, membuat hati saya menjadi malu sendiri dengan apa yang saya perbuat.

Belum 2×24 jam rasa malu itu benar-benar sirna, sudah ditambah lagi perbuatan memalukan lainnya. Ketika itu terlihatlah Aa sedang berjalan mengantar bapak Hamzah Haz beserta rombongan pulang. Persis di depan saya, sebuah bungkus permen berwarna hijau tua tidur seenaknya di tengah jalan. Adalah aib bagi seorang santri Daarut Tauhiid melihat sampah sekecil apapun terlihat di pelupuk matanya. Maksud hati ingin mengambil, tapi apa boleh buat ternyata Aa menyabetnya lebih dulu dengan sigap. Saya pun dengan tangan masih menggelayut hendak menyentuh tanah hanya bisa terpana dengan mendongakkan pandangan tertuju pada bungkus permen sialan itu yang kini telah masuk jas kokonya Aa. ” Keduluan…! ” ujar kemenangan Aa sambil tersenyum. Sedetik kemudian Aa menepuk-nepuk pundak saya dan berpesan, “Lain kali lakukanlah kebaikan lebih dahulu dibanding orang lain”. Glegh… kata-kata itu langsung menghujam di hati saya. Sambil mengepalkan tangan dan berucap dalam hati, ” InsyaAllah mulai saat ini, saya adalah orang pertama yang melakukan kebaikan “

* * *

Saya rasa Anda, dan juga saya setuju bila dikatakan bahwa ceramah-ceramahnya Aa Gym begitu ringan dan aplikatif tentang akhlaq sehari-hari. Hal itulah yang mungkin membuat ceramahnya Aa digemari bukan hanya oleh kaum Muslimin sendiri, tapi juga oleh pemeluk agama lain. Pernah beberapa wartawan asing, sengaja datang, menyewa sebuah cottage di sekitar Daarut Tauhiid demi mendapatkan informasi tentang kehidupan Aa Gym. Beberapa diantaranya mengaku baru memahami Islam yang sesungguhnya setelah merekam gerak-gerik Aa, padahal Aa tidak pernah memberikan ceramah kepadanya melainkan sekedar mengijinkan pergi kemana Aa pergi, bahkan ada diantaranya yang mengucapkan dua kalimat syahadat yang langsung disaksikan Aa beserta jemaah yang hadir ketika itu.

Tak hanya itu, Aa punya ide-ide brilian dalam menyebarkan dakwahnya. Mulai dari membangun station radio AM, yang saat itu diberi nama Radio Ummat, kemudian dirasa kurang puas, dibangunlah pula station radio FM yang diberinama MQ FM, lalu beberapa tahun yang lalu Aa membuat station televisi MQ. Aa menyadari bahwa semua itu tidak terlepas dari kebutuhan dana dan biaya. Aa kemudian mengambil langkah strategis dengan membangkitkan perekonomian umat. Aa mulai membangun Swalayan bernama SMM DT, kemudian mendirikan PT. MQS, dan puluhan perusahaan yang Aa dirikan untuk menyokong dakwahnya tersebut. Jadi selain sebagai seorang ulama yang duduk berceramah, bisa dikatakan Aa pula seorang entrepreneur yang aktif membangun perekonomian. Bukan hanya memberikan dakwah-dakwah teoritis, tapi juga teladan praktis.

* * *

Ujian popularitas pun akhirnya datang menghampiri, Aa yang dulunya takut terkenal, takut banyak orang yang secara tidak sengaja mengkultuskannya (datang ke ceramahnya sekedar keinginan bertemu si tokoh), dan juga takut berhadapan dengan kamera akhirnya mulai dikenal publik. Puluhan bahkan ratusan proposal permintaan pengisian pengajian tiap bulannya makin menggunung. Aa saat itu mulai kewalahan. Ditambah lagi, media mulai melirik Aa sebagai “objek” baru, penglaris tayangan.

Kesibukan Aa mulai menjadi-jadi. Mengisi ceramah seharian penuh, tidur sebentar, besoknya harus kembali memenuhi undangan dari sana sini, 1 hari 24 jam, 7 hari seminggu, tiada henti. Pernah dua kali saya memergoki Aa kecapean di belakang layar. Pertama, sepulang dari luar kota dimana setibanya di Daarut Tauhiid Aa langsung mengisi acara rutin yang diasuhnya. Tampak bibirnya yang kaku, matanya yang nanar dan suaranya yang parau. Kali yang kedua adalah saat acara MILAD Daarut Tauhiid di JHCC Senayan Jakarta. Di belakang panggung sebelum Aa memasuki podium, saya melihatnya benar-benar kelelahan. Namun Aa yang melihat raut muka saya sedang mengkhawatirkan keadaannya berkata menenangkan, ” Aa memang sedikit kelelahan, tapi inilah resiko berada di jalan dakwah. Tolong doakan ya! “. Tak lama, rombongan team nasyid Raihan pun sekonyong-konyong datang menghampiri, dan Aa seakan mengubur kelelahan yang baru saja nampak jelas saya lihat, berganti menjadi sebuah senda gurau segar dengan para artis Malaysia itu. Dan saya pun yakin, tak banyak orang yang tahu bahwa saat beliau ceramah, bisa jadi saat itu beliau dalam kelelahan yang teramat sangat, namun selalu beliau tutupi dengan canda dan senyumnya.

* * *

Namun, dibalik kearifan seorang Aa gym yang menjadi tokoh idola ke-2 dari 8 tokoh idola saya yang lainnya ini, ada pula satu tokoh yang perlu saya catutkan namanya disini. Yaitu tokoh yang menjadi penginspirasi dan pemotivator Aa. Dialah guru agama pertamanya Aa. Agung Gun Martin, seorang adik kandung yang lumpuh, cacat, dan hampir tuli. Sang adik yang kala itu dalam hal ilmu spiritual lebih tinggi dari kakaknya ini, tak pernah semalam pun lepas dari shalat wajib dan tahajudnya, meski bernafas saja sulit, sang adik tetap mendisiplinkan diri untuk pergi ke mesjid. Aa bahkan dengan setia menggendong sang adik yang hendak berangkat ke mesjid maupun ke kampus ini. Ada rasa penasaran yang menyeruak dalam hati Aa akan kesabaran dan sikap tak pernah mengeluhnya sang adik ini. Hingga pada suatu kesempatan Aa menanyakan langsung tentang berbagai kekurangan adiknya yang selalu ia hadapi dengan senyuman. Dengan ringan sang adik menjawab sambil tersenyum ” Aa.. untuk apa atuh mengeluh. Bukannya itu tidak akan mengubah keadaan. Lebih baik sabar saja. insyaAllah dapat pahala “. Jawaban itu seakan-akan menjadi guntur yang memecahkan keangkuhan seorang Aa Gym. Ditambah lagi, adik yang dicintainya ini akhirnya harus meregang nyawa saat berada di pangkuan sang kakak, tak ayal lagi moment itu menjadi titik balik perubahan hidup seorang Aa Gym.

* * *

Demikianlah sekelumit kisah yang bisa saya bagi dari pengalaman saya bersama dengan Aa Gym, tidak lama, sebab sejak tahun 2001 saya harus pindah ke Jakarta, dan beramal menurut bidang yang dianugerahkan kepada saya. Jika opini ini pun dilihat dan dibaca pula oleh Aa, maka pertama-tama saya ucapkan salam. Dan teriring doa untuk Aa, teteh-tetehnya, dan keluarganya semoga selalu diberkahi, diberikan kesehatan yang prima, dijauhkan dari fitnah, terutama diberikan kelapangan hati. Saya menghaturkan segala rasa syukur dan terima kasih atas ilmu-ilmu yang Aa bagikan, terlebih teladan yang Aa perlihatkan. Sungguh semua itu, menghujam dalam hati saya.

Terima kasih pula untuk media-media yang masih tetap istiqamah menyebarluaskan ceramah-ceramahnya Aa. Media yang tidak menjadikan agama sebagai tunggangan meraup keuntungan dan memutus kontrak saat ketenaran sang “aktor” mulai merosot. Cukuplah sebuah keuntungan itu dapat memberi jalan hidayah bagi yang mencarinya. Tidak perlu juga bagi kita memutus salah satu jalan hidayah hanya persoalan sepele. Seperti seorang pekerja yang dengan berbagai alasan tidak menyukai atasannya, tapi tetap lekat di perusahaan tersebut, karena atasan tersebut memberinya jalan rizki untuk menyambung hidup.

Kepada santri-santri Daarut Tauhiid dimana pun berada, tebarlah kebaikan dimana pun berada dan jadilah orang pertama yang berbuat kebaikan. Mudah-mudahan kita selalu ingat dengan tekad kehormatan kita yang pertama, untuk menjadi seorang muslim yang terpercaya sampai mati. Dan tiga pantangan yang akan selalu kita ingat, pantang mengeluh, pantang menyerah, dan pantang menjadi beban.

Tinggalkan komentar